Tentang Kemampuanku

Kamis, 20 Juli 2023 12:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kata orang aku ini aneh, tapi menurutku justru merekalah yang aneh. Dulu, ketika orang-orang di kampungku itu melihatku, selalu mereka mengucapkan sesuatu tentangku.

"Hai, Nak. Mau berangkat kerja? Mampirlah sejenak," kata kakek tua itu kepadaku. "Kau sudah sebulan di sini dan belum pernah mampir, lho."

 

Ia memang selalu begitu. Meski sudah tua dan tampak lemah, ia selalu tidak lupa untuk bersikap ramah.

 

Aku tersenyum. Biasanya ketika aku melintas, hanya menjawab sekedarnya lalu meneruskan langkahku kembali dan bergegas mengais rejeki ke ujung-ujung desa.

 

Namun, entah kenapa kali ini aku ingin sekali menerima tawarannya itu. Toh, hari masih terlalu pagi, masih cukup untuk sejenak ngobrol-ngobrol dengannya.

 

Pertama kali aku mengenalnya adalah sebulan yang lalu, ketika aku baru sampai di kota ini. Aku datang dari sebuah kota terpencil yang jauh dari keramaian, datang ke ke kota ini untuk mengadu nasib sebagai penjual baju batik keliling.

 

Yah, aku adalah penjual baju batik keliling dengan menggunakan metode tradisional. Di kampung sana, jasaku tidak begitu berharga karena hampir semua orang di kampung bisa membuatnya. 

 

Aku akhirnya berpikir untuk mengembangkannya ke kota dan langkahku ternyata tepat. Di sini daganganku lebih dihargai daripada di desaku sana.

 

Meski sudah banyak batik modern yang bagus-bagus, tapi selalu saja ada peminat batik ukiran tangan seperti yang kujajakan selama ini.

 

"Ayo, mampirlah, kan hari masih terlalu pagi," katanya lagi.

 

Aku bergegas menghampiri. Kakek tua itu bertinggal di dekat sebuah makam desa. Semua orang di sini seolah takut kepadanya, meski tak jarang juga yang minta-minta bantuannya. Bantuan bodoh meminta angka-angka.

 

Aku menerobos ke sela-sela kuburan sebelum akhirnya sampai juga di sampingnya.

 

Dari dekat aku baru sadar betapa kekarnya dia, meski sudah menua. Aku jadi membayangkan waktu muda dulu pasti ia sangat kokoh dan perkasa.

 

Aku menaruh tas besar daganganku ke tanah. Lalu duduk di samping kakek tua itu.

 

"Bagaimana kabarmu, Kek?" tanyaku sembari menepuknya pelan. "Maaf, aku baru bisa mampir."

 

Sejujurnya aku bukan tidak ingin mampir ketika sejak pertama ia menyapaku pertama kali. Namun, aku sudah cukup letih meladeni keluh kesah banyak pihak seperti Kakek tua itu.

 

Seharian ini. Selama ini.

 

Yang pada akhirnya hanya menyisakan rasa bersalah yang luar biasa dalam diri. Karena seperti tidak mampu berbuat apa-apa lagi.

 

Ia menggeliat perlahan, kemudian berujar, "Beginilah, Nak. Hidup segan tapi mati tak mau, ha-ha-ha," ia tertawa begitu renyah, tapi aku paham sebenarnya tawa itu hanya untuk menutupi kesedihannya selama ini.

 

Aku paham sorot mata dan getaran tawa semacam itu, paham, paham sekali.

 

"Setidaknya orang-orang itu tidak memusnahkanmu, bukan? Seperti teman-temanmu, Kek?" ujarku meringis.

 

"Betul. Tampaknya aku lebih beruntung daripada mereka, mungkin karena aku adalah jenis yang dianggap spesial kali, ya," jawabnya santai sambil terus bergoyang-goyang. Meski sudah tua, goyangannya masih lentur juga.

 

Ia melanjutkan, "Ada gunanya juga aku hidup di dekat makam. Mereka jadi takut kepadaku. Padahal, ya, aku ini ya seperti yang lain pada umumnya."

 

Aku ikut tertawa. Menertawakan kekonyolan orang-orang semacam itu.

 

"Oh, iya, aku tengok setiap kau pulang berdagang, dagangan selalu ludes. Dan esoknya kau membawa dagangan yang lebih banyak lagi. Tampaknya mulai laris, ya," ujarnya.

 

"Yah, alhamdulillah, Kek. Sepertinya orang-orang masih menyukai batik dengan model ukiran tangan. Lebih orisinil katanya."

 

Kulirik Kakek itu ikut senang. Mengangguk-anggukan kepala lalu tersenyum kepadaku.

 

Namun, kemudian wajahnya mendadak tenggelam dalam kesedihan.

 

"Kenapa, Kek?" tanyaku sembari lebih mendekatkan diri kepadanya.

 

"Tidak, Nak. Aku hanya ingat masa muda dulu. Saat seperti kamu ini. Ketika masih banyak orang yang membutuhkanku. Ketika aku dihargai betul. Saat aku belum kesepian seperti sekarang. Saat aku tidak dianggap sebagai penunggu makam yang perlu ditakuti seperti ini. Asal kau tahu, ini menyedihkan. Dulu masih banyak orang tahu caranya berterima kasih meski ia tidak sepertimu."

 

Aku seperti merasakan kesedihan yang sangat dari nada bicaranya. 

 

Aku mendengarkan dengan lebih seksama.

 

"Dulu teman-temanku banyak sekali di sini. Baik sepertiku maupun yang lain. Bermacam-macam. Kami setiap detik merasa dibutuhkan dan dengan begitu keberadaanku tidak sia-sia. Namun, setelah banyak gedung-gedung berdiri, perlahan teman-temanku dimusnahkan. Mengganggu katanya. Lalu kemudian tinggal lah aku sendiri di sini. Sendiri berteman sepi menunggu mati." Kata-kata kakek itu terus meluncur menyayat hati.

 

Ia melanjutkan, "Sekarang, orang-orang sudah tidak peduli lagi dengan manfaat kami. Lebih peduli dengan ego mereka sendiri sampai rela meniadakan kami. Makanya ketika mereka terkena bencana banjir dan kesulitan air, aku diam-diam senang. Senang karena mereka terkena dampaknya. Semata agar mereka mulai menyadari kesalahannya dan berbenah. Namun, ternyata mereka tak paham juga, malah semakin menjadi dan kau tahu sendiri bukan, di sini menjadi sangat panas karena semakin berkurangnya kami."

 

Aku mengangguk-angguk membenarkan.

 

Ini sebenarnya tidak asing bagiku, aku sudah terbiasa mendengarkan curhatan-curhatan sebagaimana Kakek tua ini, tapi kali ini memang terdengar lebih dramatis daripada di kampung dulu.

.

 

Kata orang aku ini aneh, tapi menurutku justru merekalah yang aneh.

 

Dulu, ketika orang-orang di kampungku itu melihatku, selalu mereka mengucapkan sesuatu tentangku.

 

"Lihat, anak itu bercakap-cakap dengan pohon!"

 

"Lihat dia sedang ngobrol dengan air!"

 

"Anak yang aneh, kucing diajak berbicara!"

 

"Orang gi/la! Sin/ting!"

 

Dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan orang-orang tentangku.

 

Awalnya aku pikir mereka juga sama sepertiku, tapi melihat terus-menerus cara mereka memperlakukanku, akhirnya aku paham bahwa aku berbeda.

 

Sejujurnya aku tidak terlalu peduli, tapi karena semakin lama semakin banyak, bahkan keluargaku sendiri pun ikut mempertanyakan kewarasanku, aku jadi merasa seperti terasing. Namun, aku mencoba untuk memakluminya.

 

Sejak kecil aku memang bisa bercakap-cakap dengan alam, baik tumbuhan dan hewan bahkan air dan sebagainya. Jadi, aku anggap sikapku ini adalah normal, merekalah yang selalu menganggapku aneh dan tidak normal.

 

Namun, ketika usiaku beranjak dewasa, aku semakin menyembunyikan kemampuan spesial dari orang banyak, hanya demi agar tidak dianggap aneh lagi. Terlebih sekarang aku tinggal di kota, aku harus lebih beradaptasi lagi.

 

Aku sebenarnya tidak ingin menyebut kemampuanku ini sesuatu yang spesial, karena bagiku ini adalah yang wajar dan seharusnya memang begitu, menurutku

Semua orang harusnya bisa bercakap-cakap dengan alam, sepertiku.

 

Kenapa? Karena ketika mereka tidak bisa memahami atau mungkin sebenarnya paham tapi tak peduli itu, semakin lama akan semakin merusak alam sekitar.

 

Yang pada akhirnya merugikan mereka sendiri dan keturunannya.

 

Aku baru tahu itu ketika usiaku beranjak remaja.

 

Karena untuk menjaga prasangka orang-orang kepadaku, agar mereka tidak lagi melabeli aku sebagai orang aneh dan mungkin gi/la seperti dulu-dulu, kini aku hanya berbicara kepada alam sekitar saat sepi tak ada orang di sampingku saja.

 

Seperti sekarang.

 

Kakek di depanku ini adalah jenis pohon beringin. Menurut pengakuannya, ia sudah ada hampir dua abad lamanya.

 

Aku menyebutnya Kakek selayaknya menyebut kepada sesama manusia yang lebih tua, karena bagiku mereka hidup dan layak untuk dihormati.

 

Akhirnya aku hanya bisa menghibur sebisanya saja. Tanpa bisa berbuat apa-apa.

 

Sejak aku tiba di kota ini untuk pertama kali, satu bulan yang lalu, aku sudah dikeluhkesahi banyak pihak.

 

Oleh air yang mengalir dari PAM. Ia berkata kepadaku atas penderitaannya karena tak sehat lagi, teracuni limbah dan sampah.

 

Oleh makanan baik itu sayur, lauk, atau beras, mereka semua selalu berkata betapa tersiksanya mereka karena teracuni oleh bahan kimia, yang sesungguhnya membahayakan bagi manusia. Ia merasa bersalah karena tidak bisa mengemban dengan baik tugasnya sebagai penopang hidup manusia.

 

Pun oleh angin yang tak lagi bersih karena teracuni polusi dari pabrik-pabrik dan sepeda motor yang semakin menjadi.

 

Oleh tanah yang selalu dikeruk habis dan diracuni dengan pupuk-pupuk kimia berbahaya.

 

Juga oleh yang lain-lain. Dan itu setiap hari, setiap saat, setiap waktu.

 

Coba bayangkan jadi sepertiku?

 

Curhatan mereka di kota ini jauh lebih sering dan santar aku dengar daripada ketika aku di kampung dulu.

 

Ini lah yang menyebabkan aku lebih banyak diam. Diam bukannya tidak peduli, tapi diam menahan rasa bersalah karena seperti tidak mampu berbuat untuk menyelamatkan mereka lebih jauh lagi.

 

***

Tamat.

 

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Asmaraloka Dewangga

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Pahlawan

Rabu, 19 Juli 2023 14:49 WIB
img-content

Nggak Bahaya, Ta?

Rabu, 19 Juli 2023 14:49 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di

Lihat semua